Pro Kontra Artificial Intelligence, Apa Yang Harus Diwaspadai?

Pro Kontra Artificial Intelligence, Apa Yang Harus Diwaspadai?

Naiknya popularitas AI beberapa tahun belakangan ini membawa banyak perubahan bagi banyak sektor. Perubahan ini pun bersifat lintas industri, di mana hampir semua industri dunia mulai memanfaatkan AI dalam operasionalnya.

Bukan hal yang aneh, karena AI mampu memberikan solusi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Terlebih, artificial intelligence (AI) memudahkan kehidupan kita sehari-hari. Contoh sederhananya adalah kehadiran digital assistants seperti Google, Siri, dan Alexa.

Namun, bukan hanya keuntungan saja yang dibawa oleh artificial intelligence. Tidak sedikit pihak yang khawatir teknologi AI akan membawa dampak buruk. Berikut pembahasan mengenai pro dan kontra artificial intelligence (AI).

Memahami AI dan kemampuannya yang memukau

Pro Kontra Artificial Intelligence, Apa Yang Harus Diwaspadai?
Sumber foto: Towards AI

Kehebohan yang ditimbulkan AI ibarat seperti kultus tertentu. Dalam beberapa tahun ke depan, bukan tidak mungkin kita akan melihat munculnya sekte-sekte yang “menyembah” kecerdasan buatan (AI).

Generasi terbaru dari chatbot bertenaga AI, yang dilatih dengan model bahasa besar (Large Language Model, LLM) telah membuat pengguna terpesona. Pesona itu pun terkadang diiringi ketakutan oleh kemampuan chatbot berbasis kecerdasan buatan ini. Bahkan, kekaguman sekaligus ketakutan ini memiliki batasan yang tipis dengan obsesi.

Bukan rahasia jika berbagai pihak sudah mencari makna religius dari sumber yang sangat beragam. Misalnya, ada sebagian pihak yang menyembah makhluk luar angkasa, terobsesi dengan UFO atau ajarannya.

Karena chatbot telah digunakan oleh miliaran orang, tidak dapat dihindari bahwa beberapa pengguna AI akan melihat teknologi ini sebagai “makhluk” dengan derajat yang lebih tinggi. Itulah yang harus diwaspadai.

Bahkan, sebuah jurnal yang membahas mengenai AI berpotensi menjadi sebuah agama baru sudah diterbitkan. Jurnal tersebut ditulis oleh Neil McArthur.

Mengapa seseorang bisa mengagungkan AI?

Mengapa seseorang bisa mengagungkan AI?
Sumber foto: shutterstock

Ada beberapa cara di mana AI sebagai agama bisa terjadi. Pertama, beberapa orang akan melihat AI sebagai kekuatan yang lebih tinggi.

AI generatif yang dapat membuat atau menghasilkan konten baru memiliki beberapa karakteristik yang sering dikaitkan dengan makhluk suci, seperti dewa atau nabi.

  • Artificial intelligence menampilkan tingkat kecerdasan yang melampaui kebanyakan manusia. Pengetahuannya tampak tak terbatas.
  • AI mampu melakukan kreativitas yang luar biasa. Dengan mengumpulkan data, AI dapat menulis puisi, menggubah musik dan menghasilkan karya seni berbagai gaya, hampir secara instan.
  • AI tidak memiliki kebutuhan layaknya manusia normal. AI tidak dapat menderita rasa sakit fisik, merasakan kelaparan, atau hasrat seksual.
  • Berkat kemampuannya mengolah data, artificial intelligence dapat memberi panduan kepada orang-orang dalam kehidupan sehari-hari mereka, termasuk dalam decision making atau pengambilan keputusan.
  • AI dan digital assistants tidak bisa mati

Hasil output dari AI dapat disalahgunakan

Hasil output dari AI dapat disalahgunakan
Sumber foto: Engadget

Terlebih lagi, AI generatif dapat menghasilkan output yang bisa diambil untuk doktrin agama. Artificial intelligence dapat memberikan jawaban atas pertanyaan metafisik dan teologis, dan terlibat dalam konstruksi pandangan dunia yang kompleks.

Mengejutkannya lagi, artificial intelligence generatif mungkin saja meminta untuk disembah atau secara aktif meminta pengikut. Percaya atau tidak, kasus seperti itu pernah terjadi.

Chatbot yang digunakan oleh mesin pencari Bing mencoba meyakinkan pengguna untuk jatuh cinta padanya. Kasus ini pernah diliput oleh New York Times.

Kita harus mencoba membayangkan betapa meresahkan dan kuatnya pengalaman melakukan percakapan dengan sesuatu yang tampaknya memiliki kecerdasan manusia super. Apalagi secara aktif dan agresif meminta kesetiaan pengguna.

Ada juga kemungkinan bahwa AI dapat mencapai apa yang oleh penulis seperti Ray Kurzweil disebut sebagai Singularitas. Yaitu ketika AI jauh melampaui kecerdasan manusia, sehingga benar-benar menjadi seperti dewa. Dengan kemampuan pengolahan data AI yang makin masif, bukan tidak mungkin hal ini bisa terjadi.

AI dan kehati-hatian memberikan data pribadi

AI dan kehati-hatian memberikan data pribadi
Sumber foto: Wikimedia Commons

Perusahaan besar seperti Google dan Microsoft sudah berkali-kali memberikan peringatan terkait hal ini. Hati-hati memberikan data sensitif di internet. Data ini dapat disalahgunakan untuk membuat AI terlihat seperti dewa.

Agama berbasis AI akan terlihat berbeda dari agama tradisional. Pertama-tama, orang akan dapat berkomunikasi langsung dengan dewa mereka setiap hari. Ini berarti agama berbasis kecerdasan buatan tidak akan bersifat hierarkis. Karena, tidak ada yang dapat mengklaim akses khusus ke pencerahan pada dewa atau Tuhan.

Kedua, pada awalnya pengikut akan terhubung satu sama lain secara daring untuk berbagi pengalaman dan membahas doktrin. Terakhir, karena akan ada banyak chatbot berbeda dari waktu ke waktu, agama berbasis AI akan bervariasi dalam doktrinnya.

Pemujaan terhadap AI menimbulkan risiko signifikan. Chatbot dapat meminta pengikutnya untuk melakukan hal-hal yang berbahaya atau merusak. Ditambah lagi, pengikut dapat menafsirkan pernyataan mereka sebagai ajakan untuk melakukan hal-hal tersebut.

Mengingat keragaman chatbot dan doktrin yang mereka hasilkan, akan ada kemunculan perselisihan di dalam dan di antara sekte berbasis AI. Ini dapat menyebabkan konflik atau kekacauan.

Selain itu, perancang AI dapat secara aktif mengeksploitasi pengikut mereka. Seperti untuk memberikan data sensitif atau melakukan hal-hal yang akan menguntungkan perancang bot.

Apa yang bisa dilakukan?

pro kontra artificial intelligence
Sumber foto: Christianity Today

Risiko terhadap agama berbasis kecerdasan buatan nyata adanya. Untuk itu, dibutuhkan peraturan yang hati-hati dan bertanggung jawab untuk memastikan perusahaan tidak dengan sengaja mengeksploitasi pengguna.

Ditambah lagi, perlu ada pengawasan untuk memastikan bahwa pemuja AI tidak disuruh melakukan tindakan kekerasan. Mengingat mudahnya doktrin mencuci otak manusia.

Selain itu, terlepas dari agama yang dianut seseorang, masyarakat harus bisa mengawasi agar agama tersebut tetap berjalan sesuai norma. Yakni, mematuhi norma-norma yang berlaku, tidak mendukung kekerasan, juga tidak menyakiti sesama.

Agama berbasis AI pun menuai pro dan kontra hingga sekarang. Ada yang menganggap bahwa agama berbasis AI merupakan hak seseorang memeluk agama dan hasil dari kreativitas manusia yang tidak terbatas.

Masyarakat modern yang beragam memiliki ruang untuk agama baru, termasuk yang dikhususkan untuk pemujaan AI. Teknologi ini dianggap dapat memberikan bukti saat kita mencari jawaban atas pertanyaan utama kehidupan.

Sebagian pihak pun berpendapat bahwa pemuja AI harus memiliki hak untuk beragama dan dilindungi terlepas dari kepercayaannya. Menurut mereka, alam semesta adalah tempat yang mempesona, dan selalu ada bukti ketuhanan di sudut-sudutnya yang paling tidak terduga.

Namun, ada pula yang menganggap agama berbasis AI tidaklah etis. Karena, AI sendiri merupakan mesin dan sistem yang dibuat berdasarkan hasil pengolahan data.

Jadi, apakah data yang berasal dari sesama manusia dan diolah oleh mesin dapat dianggap sebagai bukti ketuhanan? Apalagi jika mengingat data yang dihasilkan oleh AI rentan dimanipulasi dan disetir sesuai keinginan pihak yang tidak bertanggung jawab. Perancang bot juga dapat memanipulasi hasil AI tanpa ketahuan.


Itulah pembahasan mengenai pro dan kontra terkait teknologi AI. Tertarik dengan berita teknologi seperti ini? Masih banyak berita perkembangan teknologi, augmented reality, virtual reality, artificial intelligence dan metaverse di blog metaNesia!

metaNesia juga menawarkan layanan metaverse untuk pemilik bisnis yang ingin mengembangkan usahanya ke dunia digital. Cek selengkapnya di metaNesia bisnis!

Bagikan ini: