Tantangan Legal Metaverse, Kendala Hukum Apa Yang Perlu Diantisipasi?

Tantangan Legal Metaverse, Kendala Hukum Apa Yang Perlu Diantisipasi?

Metaverse memang menjadi teknologi yang dianggap revolusioner. Bagaimana tidak, transformasi digital skala besar terjadi berkat kemajuan internet yang satu ini.

Sebagai dunia digital yang menawarkan banyak kelebihan baru bagi masyarakat, kehadiran metaverse menjadi sesuatu yang digandrungi. Ibarat anak kecil yang melihat dunia baru, era metaverse ditandai dengan munculnya pelaku bisnis yang berfokus pada dunia metaverse ini.

Masyarakat diperkenalkan pada dunia baru, mulai dari interaksi antar manusia tanpa perlu tatap muka namun tetap imersif hingga transaksi menggunakan non-fungible token (NFT) dan sistem blockchain.

Namun, histeria dunia metaverse bukan berarti tanpa risiko. Transformasi digital ini juga membawa berbagai kecemasan yang menjadi perhatian para pengamat teknologi.

Implikasi dan tantangan legal di metaverse terhadap data dan privasi pengguna

tantangan legal metaverse
Sumber foto: Luxonomy

Dilansir dari Durham Law Review, sudah wajar jika proyek teknologi berskala besar seperti dunia metaverse akan memunculkan banyak pertanyaan terkait legalitas dan tantangan hukum yang harus dihadapi. Salah satu elemen yang paling jelas adalah privasi masyarakat pengguna internet.

Facebook, perusahaan media sosial raksasa yang mengubah namanya menjadi Meta untuk berfokus pada dunia digital metaverse, tidak lepas dari pertanyaan satu ini. Apalagi jika berbicara soal privasi dan keamanan data identitas pengguna, reputasi Facebook jauh dari kata sempurna.

Properti intelektual di metaverse

Bahkan, seorang penulis dari Reuters pernah menanyakan aturan privasi data yang akan berlaku di metaverse. Sejalan dengan itu, seberapa valid data yang ada di metaverse dalam hal ekonomi? Pengadilan di Amerika Serikat, tepatnya di distrik bagian timur Virginia pun sudah mengeluarkan ultimatum bahwa sistem artificial intelligence tidak bisa dipatenkan atau dianggap sebagai hak milik.

Dengan demikian, kecuali ada perubahan hukum yang resmi, aspek dari metaverse yang dibuat dari teknologi artificial intelligence tidak mendapatkan perlindungan hak properti intelektual, berbeda halnya dengan di dunia nyata.

Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa ke depannya metaverse akan terus memberikan implikasi terhadap komunitas hukum dan legal. Diperlukan aturan baru yang dapat menjaga keteraturan di dunia digital ini, baik dari segi penyimpanan data, privasi, sampai ekonomi.

Mulai jadi perhatian firma hukum

tantangan legal metaverse
Sumber foto: Visitex

Di tengah panasnya diskusi mengenai implikasi legal metaverse, firma hukum Reed Smith merilis “Reed Smith’s Guide to the Metaverse”, yakni sebuah pedoman yang membahas mengenai isu legalitas yang terjadi akibat metaverse, sekaligus yang mempengaruhi metaverse. Pedoman ini memiliki tebal 76 halaman.

Untuk beberapa bagian yang menjadi kekhawatiran hukum, seperti privasi, firma tersebut menganggap kekhawatiran terhadap metaverse “bisa jadi terlalu jauh.” Namun di bidang lainnya, seperti properti intelektual, firma Reed Smith, diwakilkan oleh salah satu penulis di bukunya, mengatakan bahwa konstitusi hukum yang ada sekarang sudah cukup fleksibel untuk mengatasi isu-isu yang berhubungan dengan metaverse

Jadi, meskipun secara langsung memiliki efek terhadap komunitas legal dan hukum, kedalaman efek dan seberapa jauh pengaruh era metaverse masih harus terus diamati lagi. Terlepas dari pada itu, berkembangnya era metaverse harus diantisipasi oleh praktisi hukum maupun pengacara pada pekerjaan mereka ke depannya.

Bagaimana dengan era dan tantangan legal metaverse di Indonesia?

tantangan legal metaverse indonesia
Sumber foto: WIPO

Di Indonesia sendiri, perkembangan teknologi metaverse memiliki beragam tantangan hukum yang harus dicermati, khususnya pada sektor jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengidentifikasi setidaknya terdapat lima tantangan hukum dari metaverse.

Hal ini disampaikan oleh Teguh Supangkat, Deputi Komisioner Perbankan I OJK. Selama ini, Teguh mencermati perkembangan potensial dari pasar metaverse. Teguh mengingatkan bahwa ada risiko yang berjalan beriringan.

Di era metaverse, sering kali pengalaman para pengguna teknologi ini dan yang sudah mencoba layanannya kecewa. Hal ini lantaran menurut mereka, interaksi di dunia virtual itu terkesan tidak sesuai dengan harapan awal. 

“Selain itu muncul konsen pengguna pada potensi penyalahgunaan data pribadi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Ini perlu dimitigasi dengan baik,” ungkap Teguh, menanggapi sebuah survei pengalaman pertama ber-metaverse yang dialami oleh 1.000 responden pada periode survey Januari 2022, Rabu (27/7).

Lima tantangan di era metaverse

lima tantangan legal metaverse
Sumber foto: Iot for all

Menghadapi makin majunya era metaverse, Teguh membeberkan sedikitnya lima tantangan legal di metaverse yang perlu diantasipasi terkait perkembangan potensial metaverse saat ini. Lima hal tersebut sangat berkaitan dengan permasalahan yang kerap terjadi di dunia nyata.

Masalah keamanan atau safety

Kekhawatiran yang kerap terjadi dengan adanya breaching data masyarakat adalah rentannya pengguna metaverse terancam cyberbulling dan stalking. Belum lagi perilaku tidak menyenangkan berkat mudahnya akses teknologi.

Permasalahan data

Masalah ini terkait dengan kemananan dan kearhasiaan data masyarakat, mengingat ada identitas palsu yang memungkinkan terjadi. Saat ini, belum ada solusi pasti untuk mengatasi masalah ini.

Security

Area yang bersinggungan dengan IT pasti tidak lepas dari ancaman fraud atau penipuan, secanggih apapun teknologinya. Pemerintah atau pemilik usaha harus bisa mengatasi masalah ini sebelum terjun ke metaverse.

Outsourcing

Mungkin banyak yang belum tahu jika dalam penyelenggaran metaverse, kebanyakan dikelola secara outsourcing dari pihak luar. Hal ini pun menimbulkan risiko tersendiri.

Permasalahan kolaborasi

Sama halnya dengan di dunia nyata, dalam metavese pun pengguna harus berkolaborasi sebagai sebuah ekosistem. Sehingga, ketergantungan antar ekosistem akan berisiko ketika satu ekositem mengalami penurunan. 

“Sebuah survey pada Maret 2022 mencatat bahwa potensial konsen tertinggi yang harus diwaspadai oleh penggunaan data pribadi di dalam metaverse, karena ada potensi online abuse, cyberbullying dan masalah keamanan (safety). Jadi teknologi bergerak memberikan potensi sekaligus risiko,” pungkas Teguh.

Karenanya, dalam pengembangan dunia virtual ini, menurut Teguh, terdapat beberapa area yang perlu dipersiapkan dan dimatangkan. Terutama terkait dengan teknologinya sendiri. Upaya yang bisa dilakukan antara lain adalah peningkatan kinerja untuk avatar dan definisi standar aset digital agar dapat ditransfer antar dunia maya. 

“Termasuk juga infrastruktur komersial yang mengintegrasikan dunia maya berupa web 2.0 maupun web 3.0 dengan sistem pembayaran keuangan tradisional. Ada evolusi sistem pembayaran berbasis digital webs aset,” imbuhnya. 

Bukan hanya itu saja yang harus dikembangkan. Menurut Teguh, infrastruktur pajak, akuntansi, dan sosial juga sangat penting untuk terus dikembangkan agar bisa meregulasi dengan sistem akuntansi yang ada. Perlahan, aturan yang dibuat di dunia nyata harus dapat melindungi masyarakat di dunia metaverse.

Metaverse dan dunia perbankan

tantangan legal metaverse perbankan
Sumber foto: Forbes

Direktur Utama LPPI, Edy Setiadi menyampaikan konotasi bank sudah tidak lagi dilihat dari ukuran balance sheet atau besarnya debt, aset produktif, atau tingginya skill atau keterampilan yang dimiliki. Hal ini disebabkan bergesernya fenomena di industri keuangan pada customer experience.

Jadi meskipun bank tersebut berskala kecil, bank harus tetap penuh dengan variasi teknologi terkini, pelayanan mumpuni, dan bisa memahami konsumen dengan baik. Jika demikian, bank bisa bersaing di tengah perkembangan industri yang pesat.

Pada kondisi tersebut, bank dihadapkan dengan banyak tantangan ke depan. Salah satunya adalah kehadiran dunia virtual metaverse sebagai ruang di dunia maya bagi bank untuk menjual produk dan jasa bank kepada nasabah. “Tidak hanya berjualan secara fisik, tetapi juga melalui metaverse. Jual beli produk dan layanan akan terjadi di sana,” pungkas Edy.

Perkembangan tekno secara tidak langsung mendorong konsumen sekaligus pihak bank mempelajari dan menimbang risiko adanya dunia metaverse. Maka, menurut Edy, kemuculan berbagai teknologi seperti NFT, metaverse, tentunya harus menjadi perhatian regulator dan pelaku industri dalam melindungi nasabah yang menjadi bagian penting dari dunia keuangan itu sendiri.

Metaverse dan tantangan di era pendidikan

Dilansir dari Suara Surabaya, Profesor Rachma Ida Guru Besar di bidang media dari Universitas Airlangga membeberkan pandangannya mengenai metaverse, tepatnya mengenai model sekolah dan pengajaran yang akan terjadi saat era metaverse tiba.

Menurut Prof. Ida, akan muncul berbagai peluang sekaligus tantangan besar jika metaverse sudah melingkupi sistem pendidikan dan sekolah. Dilihat dari peluang, pendidikan di era metaverse akan menghadirkan pengalaman yang berbeda.

Kemudian metaverse yang bersifat borderless atau menyediakan ruang tak terbatas akan memunculkan engagement yang lebih besar yang harus dihadapi. Menurutnya, ruang tak terbatas harus bisa dihadapi dengan baik.

“Kalau pendidikan masuk ke metaverse, maka kita harus siap dengan international engagement yang lebih luas, yang benar-benar wild. Orang siapapun masuk, bisa. Meski kita bisa mengunci beberapa ruang (digital),” jelasnya.

Pertama, karena kehadiran user di dunia virtual direpresentasikan dengan avatar. Manusia berpotensi untuk sibuk mengawasi aktivitas avatar setiap waktu dan mengurangi aktifitas di dunia nyata.

“Kita nggak akan bisa tidur karena mengikuti avatar. Seperti Tamagotchi, mulai dari telur, vetus dan terus tumbuh besar. Kalau nggak dikasih makan akan mati. Begitu juga avatar, kalau nggak dikelola akan wild (buas), dia akan pergi kemana-mana,” ungkapnya.

Tantangan kedua, yakni mengenai jaminan keamanan siber seiring aktivitas digital yang lebih kompleks. Sehingga kebutuhan terhadap internet engineer akan semakin dibutuhkan di masa depan.

Cyber security harus dipikirkan bagaimana keamanan untuk membuat aturan-aturan atau software keamanan untuk itu. Karena setiap ada cyber security, pasti ada ahli cyber construction. Yang dibutuhkan nanti adalah internet engineer yang kita sebut sebagai constructor tadi,” kata Prof. Ida.

Tantangan ketiga, yakni kondisi sosial ekonomi masa kini yang membuat tidak semua orang mampu mendapatkan akses di era metaverse. Ia menceritakan, dalam sebuah kuliah daring saja, beberapa mahasiswanya masih mengeluhkan sinyal yang membuat proses belajar mengajar menjadi terhambat.

Dampak lainnya, yakni hilangnya proses interaksi langsung antara pengajar dan murid karena interaksi lebih banyak berlangsung secara virtual. Keempat, yakni masuknya ekonomi politik di dunia pendidikan yang harus diantisipasi dengan baik.


Itulah berita mengenai tantangan legal di era metaverse. Tertarik dengan berita seperti ini? Masih banyak berita seputar augmented reality, virtual reality, dan metaverse di blog metaNesia!

metaNesia juga menawarkan layanan metaverse untuk pemilik bisnis yang ingin mengembangkan usahanya ke dunia digital. Cek selengkapnya di metaNesia bisnis!

Bagikan ini: